JC. OEVAANG OERAY
Johannes  Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J. C. Oevaang  Oeray merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia  lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I,  Kabupaten Kapuas Hulu. Ayah dan ibunya bernama Ledjo dan Hurei yang  beragama Khatolik. Kedua orangtuanya berasal dari suku Dayak yang  bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan  anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Ding  Oeray, Mering Oeray dan Tepo Oeray.
Sejak kecil Oevaang Oeray  telah menunjukkan semangat yang tinggi bagi diri dan bangsanya untuk  terlepas dari kehidupan yang tertinggal. Ia mempunyai sikap tidak mudah  berputus asa dan berpandangan luas. Penampilannya sederhana, ramah,  ulet, berjiwa sosial dan suka menolong siapa saja yang memerlukan  bantuannya. Keinginan untuk maju menjadi tekad utamanya karena ia tidak  ingin kehidupannya, baik secara pribadi maupun sukunya tetap tertinggal  di mata bangsa penjajah Belanda.
Oevaang Oeray mengenyam  pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) yang ada di desanya. Setelah  menyelesaikan sekolah rakyat selama enam tahun, ia melanjutkan ke  Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah  tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke  Sekolah Pastor. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat antara dirinya  dengan salah seorang Pastor Belanda, maka ia dihukum dan tidak  diperbolehkan meneruskan sekolah Pastornya.
Sejak masih  bersekolah di Seminari Nyarumkop, Oevaang Oeray sudah mempunyai  pemikiran untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat Dayak melalui  perjuangan politik. Pada tahun 1941, ia pernah menulis surat kepada para  guru sekolah-sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang  mengadakan retreat tahunan di Sanggau untuk mengajak mereka peduli  kepada kondisi sosial masyarakat Dayak. Pemikirannya tersebut disambut  baik oleh peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh  guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Dari  pertemuan tersebut berhasil dicetuskan suatu kebulatan tekad yang  menyatakan bahwa seluruh peserta retreat bersepakat memperjuangkan nasib  masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Peristiwa tersebut  merupakan cikal bakal dari pertumbuhan Partai Persatuan Dayak (PD), yang  sebelumnya didahului dengan kelahiran Dayak In Action (DIA) atau  Gerakan Kebangkitan Dayak. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 30  Oktober 1945 di Putussibau di bawah pimpinan F. C. Palaunsuka, salah  seorang guru sekolah rakyat.
Pertumbuhan organisasi Dayak In  Action (DIA) yang kemudian menjadi Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami  perkembangan, dimana pada setiap benua atau desa dibentuk komisariat  yang kedudukannya disejajarkan dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC).  Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember  1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan  untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak.  Kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari  1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.
Setelah  menyelesaikan sekolahnya, Oevaang Oeray bekerja sebagai guru di  kampungnya. Kemudian beliau diangkat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan  ini terus dilakukannya sampai kedatangan bangsa Jepang di Kalimantan  Barat. Ia mempersunting Bernadetha Boea, seorang gadis dari desanya  sendiri. Ia dan istrinya beberapa kali berpindah tempat tinggal karena  berbagai tugas yang diembannya. Sampai akhir hayatnya, Oevaang Oeray dan  istrinya belum dikaruniai anak sehingga mereka mengambil anak angkat  yaitu David Dungo Ding, Anna Maria dan Hubertus Tekuwan. Pada tahun  1946, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan selama satu tahun di  MOSVIA (Meddelbare Opleiding School Voor Indische Amtenaar) atau sekolah  Pamong Praja di Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah selesai mengikuti  pendidikan di MOSVIA, ia kembali ke Kalimantan Barat.
Pada  tanggal 12 Mei 1947, Komisaris Jenderal Van Mook menandatangani Statuut  Kalimantan Barat, dimana Karesidenan Kalimantan Barat berubah menjadi  Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), dengan Kepala Daerah Sultan  Hamid II dan wakilnya Mansyur Rifai. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala  Daerah dibantu oleh badan yang disebut Dagelijk Bestuur atau Badan  Pemerintah Harian (BPH), yang terdiri dari Oevaang Oeray, A. F. Korak,  Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun dan H. M. Sauk. Dengan diangkatnya Oevaang  Oeray sebagai anggota BPH pada pemerintahan DIKB, maka sejak tanggal 12  Mei 1947, A. Djelani diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak DIKB  dan sekaligus sebagai Ketua Umum Partai PD menggantikan Oevaang Oeray.
Upaya  Belanda membentuk DIKB mendapat tentangan keras dari berbagai  organisasi politik yang ada di Kalimantan Barat. Mereka menilai dengan  dibentuknya DIKB merupakan suatu usaha Belanda untuk menjauhkan rakyat  Kalimantan Barat dari pemerintah Republik Indonesia. Pihak republiken  menganggap bahwa perubahan status Kalimantan Barat menjadi DIKB  merupakan suatu perjanjian politik (Politik Kontrak) antara Sultan Hamid  II dengan Belanda. Dengan demikian berarti Belanda mengakui DIKB dengan  pemerintah sendiri dan mengakui pula Dewan Kalimantan Barat (DKB)  sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi. Pada tanggal 23 Maret 1948,  di Pontianak diadakan pemilihan anggota DKB untuk seluruh daerah  Kalimantan Barat. Dari hasil pemilihan, suara terbanyak diperoleh dokter  Soedarso dan Mansyur Rifai. Tetapi, karena dokter Soedarso masih berada  di dalam penjara maka kedudukannya digantikan oleh Mansyur Rifai.  Kemudian pada tanggal 12 Mei 1948, diumumkan susunan anggota DKB baru  yang anggotanya ada yang diangkat oleh pemerintah DIKB dan ada yang  dipilih. Anggota DKB yang diangkat adalah Oevaang Oeray, Lim Bak Meng,  Muhammad Saleh dan W. N. Nieuwenhuysen. Anggota DKB dari Swapraja yang  diangkat oleh pemerintah adalah Tengku Muhammad, Ade Djohan dan Gusti  Ismail. Sedangkan anggota DKB hasil pemilihan adalah F. C. Palaunsuka,  Mansyur Rifai, Tio Khian Sun dan F. Bradenburg Van der Groden.
Pembentukan  DIKB dan DKB mendapat tentangan dari masyarakat dan berbagai organisasi  politik seperti Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Persatuan Buruh  Indonesia (PBI) dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Ketiga organisasi  tersebut sangat mencela tindakan Sultan Hamid II yang telah  menandatangani status itu. Pada tanggal 26 November 1949,  anggota-anggota GAPI yang berhaluan keras mendirikan Komite Nasional  Kalimantan Barat (KNKB) untuk menentang adanya DIKB dan DKB. Mereka  mempunyai keinginan agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam Negara  Kesatuan Republik Indonesia dan bukan sebagai sebuah negara bagian.  Untuk mewujudkan keinginan tersebut, KNKB melakukan aksi pemogokan umum  bersama-sama dengan buruh, pegawai pemerintah maupun swasta. Akibat aksi  tersebut, ketenangan umum dan aktifitas perekonomian menjadi terganggu.  Untuk memulihkan keadaan akibat aksi mogok umum tersebut, Pemerintah  DIKB kemudian menangkap ketua KNKB, S. H. Marpaung beserta pengurus  lainnya yang dianggap sebagai penggerak aksi pemogokan.
Pada  tanggal 12 Maret 1950, Komisaris Republik Indonesia Serikat (RIS) yang  diwakili oleh Mr. Indra Kusuma dan M. Soeparto tiba di Pontianak.  Kedatangan mereka untuk menangani ketegangan antara KNKB dengan  pemerintah DIKB. Komisaris RIS kemudian mengadakan tatap muka dengan  pemerintah DIKB dan KNKB. Perundingan berjalan dengan tegang karena pada  prinsipnya KNKB tetap mempertahankan tuntutannya yang menginginkan  Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perundingan  antara pemerintah DIKB – Komisaris RIS - KNKB dilaksanakan kembali pada  tanggal 17 Maret 1950. Perundingan yang kedua tersebut menghasilkan  keputusan bahwa akan segera dibentuk sebuah Komisi oleh Menteri Dalam  Negeri RIS yang akan membuat peraturan pemilihan anggota DKB. Anggota  Komisi tersebut beranggotakan 7 orang dengan perincian 3 orang dari DKB,  3 orang dari KNKB dan 1 orang dari RIS yang akan menjadi ketua Komisi.
Berdasarkan  hasil keputusan perundingan tanggal 17 Maret 1950 di atas, Menteri  Dalam Negeri RIS kemudian membentuk suatu Komisi untuk pemilihan anggota  DKB yang anggotanya terdiri dari Mr. R. Suwanjo dari RIS sebagai ketua  Komisi, Oevaang Oeray, Ade Muhammad Djohan, Tio Khian Sun dari DKB dan  S. H. Marpaung, Uray Bawadi dan Djenawi Tahir dari KNKB. Pada akhirnya  Komisi tersebut tidak berhasil menetapkan waktu pelaksanaan pemilihan  anggota DKB yang baru karena antara KNKB dan DKB yang lama terjadi  perbedaan pendapat mengenai waktu pemilihan, dimana KNKB menghendaki  agar pemilihan anggota DKB yang baru dilaksanakan secepatnya sementara  DKB yang lama meminta waktu selama tiga bulan untuk melaksanakan  pemilihan DKB yang baru tersebut.
Di tengah-tengah kesibukan dan  ketegangan perundingan antara KNKB dan DKB, kemudian terdengar berita  mengenai penangkapan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS, yang  dianggap terlibat dalam peristiwa Westerling pada tanggal 23 Januari  1950 di Bandung dan menyerbu sidang Dewan Menteri pada tanggal 24  Januari 1950. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950.  Dengan tertangkapnya Sultan Hamid II maka DIKB dan kerajaan-kerajaan  Swapraja yang ada di Kalimantan Barat dinyatakan bubar. Setelah DIKB  dianggap bubar maka terhitung sejak tanggal 17 Agustus 1950, Kalimantan  Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan  bergabungnya Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan  Republik Indonesia maka secara otomatis daerah Kalimantan Barat  mengikuti peraturan dan kebijakan dari pemerintah pusat Republik  Indonesia. Dalam bidang politik, pemerintah pusat menyelenggarakan  Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955 untuk memilih wakil-wakil  rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Demikian juga di  Kalimantan Barat diselenggarakan Pemilihan Umum pada tahun 1955. Melalui  suara Partai PD dalam Pemilu tahun 1955, Oevaang Oeray berhasil  diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat  dengan dasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59/M  tanggal 17 Maret 1959. kemudian pada tanggal 22 Juni 1959, bertempat di  Gedung Pertemuan Umum Kotapraja Pontianak, ia dilantik menjadi Kepala  Daerah oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, R. M. Soeparto.  Setelah selesai upacara pelantikan, diadakan serah terima jabatan  Kepala Daerah dari Gubernur Jenderal Asikin Joedadibrata kepada Kepala  Daerah yang baru Oevaang Oeray.
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5  Juli 1959, DPRD Tingkat I Kalimantan Barat melalui sidang tanggal 14  November 1959, menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan  Barat. Calon yang terpilih terdiri dari 2 orang, yaitu Oevaang Oeray  (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata  sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember  1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I  Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.
Perlu  diketahui bahwa pada waktu itu kedudukan Gubernur dan Kepala Daerah  adalah terpisah. Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat di  daerah sedangkan Kepala Daerah adalah aparat desentralisasi sebagai  kepala daerah otonom. Dengan demikian Oevaang Oeray adalah Kepala Daerah  Otonom Tingkat I Kalimantan Barat yang pertama dan terakhir, karena  setelah itu jabatan Gubernur dan jabatan Kepala Daerah disatukan menjadi  Gubernur Kepala Daerah yang mempunyai tugas rangkap yaitu sebagai  kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Selama  memangku jabatannya, Oevaang Oeray berusaha memajukan daerah Kalimantan  Barat. Dalam bidang pendidikan, beliau bersama-sama dengan tokoh  politik, tokoh masyarakat dan pemuka agama seperti dokter Soedarso, R.  Wariban, Ibrahim Saleh, dan lain-lain mendirikan Universitas Daya  Nasional yang sekarang bernama Universitas Tanjung Pura di Pontianak.  Dalam pembangunan sarana peribadatan, selain pembangunan gereja, ia juga  memperhatikan pembangunan rumah ibadah umat Islam.
Setelah tidak  lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Oevaang  Oeray dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI  periode 1977-1982 mewakili Golongan Karya. Dan sampai akhir hayatnya,  beliau masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar  Kalimantan Barat.
Oevaang Oeray meninggal dunia pada tanggal 17  Juli 1986 di Pontianak karena sakit. Sehari sebelum Oevang Oeray  meninggal dunia atau tepatnya pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 1986, di  ruang rapat Kantor Gubernur Kalimantan Barat diadakan pertemuan antara  Gubernur Kalimantan Barat dengan Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia  (Apkindo) dan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Dalam pertemuan  tersebut, sebagai Ketua Eksekutif Apkindo, Oevaang Oeray berkesempatan  melaporkan hasil perjalanannya di Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Tetapi,  sewaktu berbicara dalam pertemuan itu, ia menderita batuk-batuk dan  sulit bernafas. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Sei Jawi  Pontianak. Setelah segala upaya dan usaha dilakukan untuk penyembuhan,  pada tanggal 17 Juli 1986 di RSU Sei Jawi Pontianak, ia akhirnya  meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Katholik Santo Yosef  di Sungai Raya Pontianak.
Dengan meninggalnya Oevaang Oeray,  maka masyarakat Kalimantan Barat khususnya dan bangsa Indonesia umumnya  telah kehilangan salah seorang putra terbaik bangsa yang turut berjuang  memajukan harkat dan martabat rakyat melalui pendidikan dan pembangunan.  Generasi muda dapat mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengabdian  Oevaang Oeray seperti sikapnya dalam usaha untuk maju dan berprestasi  dalam menuntut ilmu sehingga dengan ilmu tersebut dapat dimanfaatkan  untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bangsa dan negara  Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.
sumber : borneo center
Diposkan oleh Karel Juniardi di 01:25    
No comments:
Post a Comment