Tuesday, June 1, 2010

Siang   yang amat panas  bikin badan jadi lemas, enerji cepat terkuras  sengatan  matahari. Apalagi  pasir putih memantulkan cahaya sang surya  ke atas,  hingga keringat  semakin deras mengucur. Bentangan pasir putih  yang  tebal memang bikin  kaki makin berat mengayun. Namun bukan karena  itu  langkah mendadak  berhenti.
Di   depan, tampak seonggok kayu hitam yang  separuh terbenam pasir. Di   dalam kayu yang berongga itu tergolek sebuah  tengkorak manusia berikut   tulang-belulang. Mata pun otomatis menyapu  daerah sekitar. Benar juga   tak jauh dari situ berserakan pecahan-pecahan  peti kayu yang berisi   kerangka manusia. 
Tak    pelak lagi, ini tanah kuburan. Ditilik dari bentuk peti mati yang    membulat dengan sudut melengkung, jelas bahwa itu adalah peti mati orang    Cina yang oleh masyarakat Singkawang disebut “kon choi”. Peti ini    dibuat dari kayu belian yang kuat dan tahan kikisan waktu.
“Kuburan    itu paling lama usianya seratus tahun”, kata Budi Rijanto alias Liauw    Hai Leng (51 tahun), pemilik pabrik keramik Tajau Mas di dusun Padang    Pasir. Dusun ini termasuk Desa Sedau, Kecamatan Tujuhbelas, dan  terletak   sekitar 6 km di sebelah selatan Kota Singkawang. Kuburan yang  dimaksud   berada sekitar 100 meter di belakang pabriknya. “Kuburan itu  dibongkar   penduduk yang kerjanya mengambil pasir untuk bahan  bangunan”, katanya   lagi. Aneh juga, biasanya orang Cina punya tradisi  kuat merawat makam   leluhurnya. “Mungkin kerangka itu dulunya seorang  imigran Cina yang   datang ke sini   dan tak punya sanak saudara”, kilah Liauw Hai Leng. 
Kuburan   yang relatif kuno serta nama Kampung  Padang Pasir, yang kenyataannya   memang ada hamparan pasir laut di tengah  daratan, merangsang rasa  ingin  tahu tentang asal muasal tempat dan nama  Singkawang. “Singkawang  itu  berasal dari kata  Sang-KeuJong, artinya  kuala dan gunung”, kata lelaki Cina itu  menerangkan.
Setelah   dicek pada kitab sejarah lokal milik  pemda, Sang-Keu-Jong memang   merupakan nama asal Singkawang. Namun kitab  itu tidak menerangkan   artinya. Meskipun demikian, pemyataan Liau Hai  Leng mengandung   kebenaran juga. Apalagi kalau dilihat geografi  Singkawang terdiri dari   dataran rendah daerah pantai yang dilingkungi  bukit dan gunung. Antara   lain Gunung Poteng (atau Keu Theu San, menurut  bahasa Cina Kek) yang   bentuknya seperti ibu jari. Satu bukti bertambah  tatkala melihat   kegiatan orang menggali tanah liat untuk mebuat keramik  di belakang   pabrik Tajau Mas. Kira-kira pada kedalaman 3 meter, para  penggali sudah   menemukan tanah laut.
Kaki    pun kembali melangkah mengikuti jalan yang ditunjukkan Hu Tjhiung Fo.    Kira-kira sepuluh menit menapaki jalan raya, di kejauhan terlihat    kelenteng merah berdiri di atas “bukit” batu besar. Ada anak-anak tangga    semen mendaki munuju kelenteng. Bangunan pemujaan ini tidak besar,   pada  dinding batu terpahat kepala singa. “Toh pe  kong ini sekarang namanya Tri Dharma Bumi Raya   dan papan namanya yang   kini telah rusak   menyebutkan angka tahun 1661 Masehi”,  ujar  Hu Tjhiung Fo. Kemudian ia mengisahkan   legenda tentang kuil kuno itu.  Dulu para pendeta santai duduk memancing   di atas batu yang dibawahnya  air lauL 
Dan   penduduk sekitar hidup membuat garam. 
Dan    memang.di bawah tangga semen terdapat alat penggiling garam yang    terbuat dari batu berbentuk silinder bergaris tengah 50 cm.
Beberapa   tahun yang lalu di sekitar Padang Pasir yang masuk daerah  Tanjung  Batu, penduduk melakukan penggalian dan   menemukan sisa-sisa sampan  kuno serta keramik Cina asal Dinasti Ming,   kata Liauw Hai Leng  sungguh-sungguh, meskipun Kanwil Depdikbud   Singkawang menyatakann  belum menerima laporan penemuan purbakala itu.
Hati    jadi penasaran, maka langkah jadi ringan menelusuri daerah sekitamya,    untuk mencari informasi tentang kepurbakalaan di sana. Tak terasa    tibalah di Desa Kali Asin, sebuah kampung Cina yang letaknya 2 km di    selatan Desa Sedau. Bukankah nama Kali Asin ada hubungannya dengan laut? 
Dulu  desa ini narnanya jam  Tang, artinya  lapangan garam”, kata Bapak A Tet (74  tahun), sesepuh kampung itu.  “Menurui ceriteranya, daerah ini   dulunya pantai tempat membuat dan menjemur  garam”. Pantai yang ada   sekarang letaknya 3 km di barat kampung yang  dibelah oleh jalan raya   Singkawang-Pontianak itu. Salah seorang  penduduk, Hu Thiung Fo (35   tahun), menambahkan sewaktu ia membuat sumur  pada kedalaman dua meter   telah menemukan pasir laut dan airnya payau.  “Kampung  ini  memang tanah kuno, tak jauh dari sini ada  bukti-buktinya”, ajaknya  antusias.
Sejarah  Kota Singkawang memang tak bisa  dipisahkan dengann orang Cina. Semua  nama tempat, gunung dan sungai  mempunyai nama   yang berasal  dari Cina; misalnya, Gunung Tanjung Batu yang dulu   bernama Ha Sha Kok,  atau Gunung Keu Theu San yang sekarang berganti   nama menjadi Gunung  Raya, atau Jam Tang yang kini menjadi Kali Asin,   atau nama Kota  Singkawang itu sendiri yang dulunya Sang-Keu-Jong. 
Dalam   sejarah memang disebutkan, sebelumnya  orang Cina berpusat di  Montrado,  40 km di sebelah tenggara Singkawang.  Mereka mendirikan  kongsi-kongsi  dalam usaha penambangan emas di sana.
Sekarang    hampir tidak ditemukan orang Cina di Montrado, habis tergusur sewaktu    peristiwa PGRS / Paraku tahun 1967. Yang tinggal sekarang orang  Melayu,   Dayak dan Bugis berikut perusahaan penambangan emas milik  pemerintah   yang bekerja sama dengan perusahaan asing.
Bukti    bahwa Montrado pemah menjadi pusat kegiatan orang-orang Cina, adalah    tugu peringatan yang didirikan Belanda atas pertempurannya dua kali    dengan orang-orang bermata sipit itu, yaitu tahun 1852-1854 dan    1914-1916.
Bukti-bukti   lainnya, pecahan-pecahan keramik  yang banyak tersebar di tanah   Montrado, namun terabaikan. Untunglah ada  seorang keramolog amatir, Ny.   Marquerite Wyntje, istri pimpinan  perusahaan, yang tekun mengumpulkan   dan menyambung pecahan-pecahan itu  menjadi utuh, maka terlihatlah   mangkuk, piring, guci, pipa opium, wadah  emas, kebanyakan berasal dari   Dinasti Qing, Belanda dan lokal. Siapa  tahu lewat beling-beling itu   dapat dilihat perpindahan pusat kegiatan  masyarakat Cina dari Montrado   ke Singkawang.
Sang-Keu-Jong   memang masih miskin dengan penelitian purbakala. 
Warisan   budayanya banyak yang masih terkubur, menunggu kedatangan ilmuwan   menguak misteri tanah ini.
Nurhadi RangkutiStaf  Pusat Penelitian Arkeologi  Nasional
No comments:
Post a Comment